Jumat, 06 April 2012

Liputan Khusus: Petualangan Tim SKL Mengunjungi Habitat Murai Batu Bohorok, Kab. Langkat, Sumatera Utara

Terdorong oleh rasa keingintahuan serta penasaran terhadap keberadaan dan keberlangsungan kehidupan murai batu Medan, serta liku-liku para pemikat dalam memikat sang murai batu dari areal hutan yang menjadi lingkungan kehidupan sang murai batu Medan ini, maka kami dari tim SKL BF Jatibarang, setelah berdiskusi di markas besar kami yang berada di Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, akhirnya memutuskan untuk memulai petualangan ke wilayah “kehidupan” sang murai batu Medan, selama empat hari, mulai Rabu, 28 Maret hingga Sabtu, 29 Maret 2012. 
Petualangan ini kami impikan sejak dulu. Akhirnya kami baru bisa merealisasikannya, karena selama ini kami belum memiliki waktu yang tepat, akibat kesibukan kerja di Jatibarang yang belum memungkinkan kami untuk melakukannya. Terlebih lagi, selama ini kami mendapatkan informasi hanya lewat mulut dan tuturan cerita dari beberapa rekan pecinta murai batu saja.
Setelah menyusun agenda perjalanan petualangan yang terbagi dalam 4 sesi, kami pun mulai melangkah. Perjalanan dimulai dari lokasi markas besar kami menuju Bandara Soekarno- Hatta, Jakarta, dilakukan pada malam hari pukul 20.00 wib, di hari Selasa, 27 Maret 2012. Pada jam 05.00 wib, Rabu 28 Maret 2012, pesawat yang membawa kami terbang menuju kota Medan, Sumatera Utara.


Hari Pertama, Rabu (28/3)
Setelah pesawat yang membawa kami mendarat di bandara Polonia Medan, Sumatera Utara,  kami langsung mencarter mobil menuju lokasi Kecamatan Bohorok. Tapi sebelumnya, kami menikmati dulu wisata ketempat bersejarah di kota Medan, diantaranya kami mengunjungi Istana Maimun. Ditempat bersejarah ini kami sempatkan berfoto-fotoan untuk kenang-kenangan.
Kemudian, kami lanjutkan perjalanan dengan menikmati wisata kuliner khas Medan. Mengingat sudah jam-nya sarapan pagi, sambil menuju lokasi tempat wisata kuliner kami melewati beberapa ruas jalan kota Medan. Walaupun di pagi hari, udara disana sudah terasa panas mengingat kota Medan adalah kota Metropolitan terbesar ke tiga di Indonesia. Setelah sampai di lokasi wisata kuliner khas Medan, kami menikmati soto khas Medan yang terkenal itu. Wah.. Mak Nyus, bener-benar Mak Nyus...
Kenikmatan soto khas Medan yang kami santap ini tidak membuat kami keasyikan. Setelah menikmati kuliner soto Medan ini kami bergegas menuju lokasi pasar hewan di Jl. Bintang, Kota Medan. Disitu terdapat beberapa jenis hewan yang diperdagangkan. Sayangnya, karena waktu yang semakin terbatas, sehingga kami segera meluncur menuju arah lokasi keberadaan sang murai batu yakni kecamatan Bohorok.

Halaman Istana Maimun Nampak Istana Maimun   .


Depan Pintu Utama Istana Maimun




















Batu Peringatan Pembangunan Istana Maimun
Bagian dalam Istana Maimun. Nampak dibelakang singgasana sang raja
Bagian Ruang Penerima Tamu Raja Istana Maim
                                                                         



Menikmati Sarapan Pagi Kuliner Khas Medan, Soto Medan
Sepanjang perjalanan menuju Bohorok ini, kami disuguhi pemandangan alam nan indah, sungai-sungai nan jernih. Selain pemandangan alam dan sungai kami pun melewati areal perkebunan sawit dan perkebunan karet yang luasnya beribu-ribu hektar. Dari kejauhan dibelakang areal perkebunan sawit dan karet ini kami melihat jajaran bukit-bukit, hutan-hutan nan rimbun dan indahnya perbukitan yang seolah-olah menyelimuti Gunung Leuser.
Sesampainya di lokasi yang kami tuju, kami disambut oleh salah seorang warga yang menjadi rekan pemandu kami, yang sekaligus rumahnya kami jadikan base camp tempat kami bermalam sambil berdiskusi tentang banyak hal khususnya tujuan petualangan kami. 

Tapal Batas Bohorok, Kab. Langkat
Nampak aliran sungai Bohorok


Jembatan Tapal Batas Bohorok


Setelah menaruh beberapa barang-barang bawaan kami, dengan menggunakan sepeda motor dan dipandu oleh salah seorang warga segera kami berangkat masuk ke arah pedalaman yang melewati beberapa desa dan areal perkebunan sawit.
Pada hari pertama ini, kami mengunjungi beberapa desa pedalaman yang kabarnya terdapat sebagian warganya memiliki hobi mengkoleksi murai batu. Jalanan yang rusak, penuh lobang dan bebatuan, serta licin kami lalui. Alhamdulillah, dengan tekad dan semangat keingintahuan dan ridho Allah SWT, kami pun sampai pada desa pertama yang kami kunjungi.
Ada perasaan gembira, namun disisi lain ada perasaan sedih. Gembira karena kami telah melalui perjalanan yang melelahkan yang membuat badan terasa sakit, perasaan sedih karena ternyata setelah kami kunjungi beberapa warga desa yang mengkoleksi murai batu ini, kami melihat kondisi murai yang dikoleksi beberapa warga di desa telah menjadi jinak, mental fighternya telah terkikis, keganasan burung fighter ini pun telah melunak. Sungguh ironis menurut pandangan kami sebagai pecinta murai batu.
Salah satu sudut jalan yg melintasi areal perkebunan sawit

Berbincang santai dengan salah seorang warga yang memiliki koleksi murai batu
Ngobrol santai diteras salah seorang warga yg mengkoleksi murai batu
Dari beberapa wawancara dan obrolan santai yang kami lakukan terhadap beberapa warga desa pertama yang kami kunjungi ini, dimana warga tersebut mengkoleksi murai, kami menarik kesimpulan ada persoalan mengapa terjadi demikian, yakni karena cara perawatan, cara perlakuan terhadap murai ini yang pada akhirnya menyebabkannya menjadi jinak. Dengan kata lain, murai batu yang dikoleksi oleh beberapa warga desa pertama yang kami kunjungi ini telah kehilangan karakter fighternya.
Perjalanan petualangan pada hari pertama ini untuk sementara tidak kami lanjutkan mengingat waktu yang telah semakin larut dan gelap, disamping itu hujan gerimis mulai turun. Kami pun meutuskan untuk kembali ke base camp. Perjalanan pulang kembali menuju base camp dengan berkendaraan sepeda motor (bahasa Bohorok; kereta) ditempuh tidak kurang dari 3 jam. Sebenarnya waktu tempuh bukan menjadi persoalan bagi kami tapi rute offroadnya itu dan tebing-tebing yang langsung menjorok kejurang, dimana pada malam itu hujan mulai turun sehingga jalanan tanah menjadi licin yang memicu adrenalin kami.
Tepat jam 23.00 WIB kami sampai di rumah penduduk yang kami jadikan base camp kami menginap. Sambil menikmati udara malam dan turunnya embun malam Bohorok bersantai sejenak bersama tim, ditemani secangkir teh hangat dan cemilan tim berdiskusi untuk mengulas hasil petualangan hari pertama khususnya terkait dengan kondisi murai yang dikoleksi oleh beberapa warga desa yang kami kunjungi sampai tepat jam 02.00 wib.
 

Hari kedua, Kamis (29/3)
Agenda hari kedua ini masih melanjutkan agenda pada hari pertama yang tertunda karena persoalan waktu yang telah larut malam. Suasana pagi yang sedikit mendung, udara nan sejuk menyapa kami yang terbangun dari tidur lelap karena seharian kami berkeliling keluar masuk desa dengan kondisi jalanan yang rusak membuat badan kami terasa sakit dan sedikit ngilu. Sambil ngobrol santai dan bercengkrama dipagi hari ditemani secangkir teh manis hangat dan cemilan pisang goreng, tim menyusun agenda perjalanan di hari ke dua ini, agenda di hari kedua ini tim SKL akan memasuki wilayah pedesaan kearah yg lebih dalam lagi dari desa pertama yang telah dikunjungi pada hari pertama.
Jam 09.00 WIB tim mulai perjalanan menuju areal perkebunan sawit. Sama seperti hari pertama, jalanan yang dilalui kondisinya rusak parah, licin, bebatuan dan penuh lobang, selain itu jalanan juga naik turun. Kondisi jalanan seperti ini bagi warga setempat adalah hal yang dianggap lumrah karena sering dilalui oleh truk pengangkut sawit, karet, dan kayu-kayu hasil tebangan. Menjadi maklum karena tanah di wilayah ini terbagi dalam 3 zona, yakni ada zona tanah milik pribadi, zona tanah adat dan zona tanah/hutan negara.
Wilayah pedesaan yang kami kunjungi di hari kedua ini merupakan wilayah yang menurut keterangan warga setempat dahulunya merupakan hutan, sebagai akibat adanya perkembangan kependudukan dan pembukaan lahan perkebunan sawit, secara otomatis terjadi perubahan alih fungsi yang juga berdampak pada keberadaan murai batu. Wilayah keberadaan murai ini semakin terdesak ke arah atas di sekitaran kaki Gunung Leuser. Dahulu saat penduduk masih sedikit, dan belum meluasnya lahan perkebunan sawit, murai batu ini sangat dekat keberadaannya dengan lingkungan tempat tinggal penduduk desa. Kicauan murai menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Namun saat ini sudah sangat sulit untuk dapat mendengarkan kicauan murai dari tempat atau lingkungan penduduk dimana mereka tinggal, semuanya tinggal kenangan.
Perjalanan menuju pedesaan pada hari ke dua ini selain soal waktu, juga kondisi jalanannya yang terasa semakin parah ditambah pula dengan cuaca yang gerimis semakin menuntut kami harus waspada dan ekstra hati-hati dalam mengendarai sepeda motor yang membawa kami ini. Kami harus menyeberangi sungai melalui jembatan gantung sepanjang 50 meteran yang dibangun pada zaman penjajahan Belanda. Kondisi jembatan gantung ini cukup memprihatinkan pada beberapa bagian di pinggir jembatan sudah mulai terlihat ada yang rusak, kayu-kayu sebagai alas jembatan sudah banyak yang bolong dan keropos dimakan usia. Terlihat dibawa jembatan mengalir air dari aliran sungai dengan ketinggian sekitar 75 m dari atas jembatan, kami sempatkan sebentar sambil beristirahat untuk berfoto-foto di jembatan gantung ini. Dari hasil obrolan dengan beberapa warga terselip cerita mistis diseputaran jembatan gantung ini dan daerah aliran sungai yang tepatnya berada dibawah jembatan gantung, cukup membuat bulu kuduk kami merinding. Semua cerita mistis itu tidak lantas membuat kami terhenti, perjalanan tetap kami lanjutkan sampai pada wilayah pedesaan yang kami tuju.

e
Bersama warga setempat dijembatan gantung yg nampak pd beberapa bagian sdh mulai rusak
Jalan menuju jembatan gantung

Jembatan gantung yg sdh berjasa bg masyarakat Terlihat pd kayu & besi sdh mulai rusak
     
Aliran sungai dilihat dar atas jembatan gantung
Tim SKL BF JTB In action Jembatan Gantung
Jembatan gantung nampak dari samping dengan jarak dari kejauhan
Akhirnya, tepat pukul 13.30 WIB tiba-lah kami di wilayah pedesaan yang kami tuju. Setibanya di wilayah ini, karena cuaca sedang gerimis sepanjang perjalanan tadi, kami mencari warung atau kedai kopi untuk kami berteduh sambil menikmati secangkir kopi dan cemilan sebagai teman melepaskan rasa lapar dan dingin. Di kedai kopi inilah kami dan pemandu berbincang-bincang santai sambil mengamati burung murai yang menjadi koleksi si empunya warung. Secara fisik memang  kondisi indah, menarik, namun secara perilaku dan tingkah pergerakan burung nampak sangat memprihatinkan, begitu manja, lunak dan kehilangan daya tarung sebagaimana karakter dasarnya, begitu pula dengan volume suara bervariasi.
Waktu menunjukan pukul 16.39 WIB. Setelah beberapa saat singgah di warung kopi sambil menunggu gerimis berhenti dan mengamati murai koleksi yang empunya warung, kami melanjutkan perjalanan kembali ke arah pedalaman desa tetangga. Setibanya dilokasi, kami menjumpai juga beberapa kumpulan warga desa yang memiliki koleksi burung murai, baik jantan maupun betina. 

Dari obrolan ringan dengan mereka, ada hal yang dalam pandangan kami sebagai pecinta murai sekaligus penangkar, khususnya terkait dengan perlakuan terhadap sang murai, sbg contoh saja disana smua murai yg dipelihara tidak ada yg dikerodong baik pg, siang ataupun dimlm hari. Pemberian extra fooding berbeda atau boleh dikata jauh dari apa yang kami bayangkan sebagaimana kebiasaan kami memperlakukan murai di penangkaran. Mungkin karena hal ini lah yang menyebabkan adanya perbedaan dari segi perilaku dan pergerakan burung murai di tempat kami diJawa sini dengan yang dikoleksi oleh beberapa warga desa yang kami kunjungi.
Ada beberapa indikator yang mengakibatkan murai kehilangan karakter dasarnya yang berwatak petarung dan ganas. Antara lain, teknis perawatan maupun perlakuan terhadap murai ini menjadi salah satu faktornya.
Namun semua itu merupakan dinamika dalam dunia perburungan, khususnya dunia murai, dan kami pun menyadari adanya perbedaan ini karena adanya sebuah tujuan yang berbeda. Yakni, ada dua tujuan utama orang mengkoleksi murai, pertama; karena hanya sekedar untuk pajangan, hiasan, sekedar hobi dan kedua; untuk keperluan kontes atau lomba. Tapi sejatinya walaupun untuk keperluan dua hal yang berbeda, setidaknya tidak sampai menghilangkan karakter dasar sang murai batu. Tanpa terasa ngobrol-ngobrol santai bersama warga desa yang kami kunjungi ini rupanya jam sudah menunjukan pukul 20.30 wib. Waktu begitu cepat berlalu, diluar pun cuaca nampaknya tidak mengenal kompromi, hujan gerimis turun kembali membasahi tanah jalanan yang akan kami lalui untuk kembali pulang menuju base camp. Mengingat waktu yang sudah semakin larut dan buat menyiapkan agenda esok hari yang akan berangkat menuju daerah perbukitan untuk keperluan mengenal seluk beluk bagaimana kondisi dan cara para pemikat dalam memikat burung murai batu dari tangkapan hutan, maka kami putuskan untuk kembali pulang.
Terasa sekali letih, lelah, dingin dan menggigil badan, namun hambatan-hambatan psycologis dan fisik ini tidak terlalu kami risaukan mengingat masih tersisa sebuah semangat dan tekad mencari sebuah pengetahuan, yakni tentang seluk beluk memikat burung murai batu yang dilakukan oleh para pemikat burung dengan kondisi medan yang bagi kami cukup jauh dan berat medan tempuhnya. Tepat pukul 00.30 WIB kami tiba di base camp tempat dimana kami menginap.

Beberapa saat kami ngobrol santai sambil mengulas hasil perjalanan di hari kedua ini, setelah itu kami mandi, tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 02.15 wib, mata dan badan tak bisa lagi diajak kompromi akhirnya selesai mandi kami pun pergi ke peraduan. Lelap tertidur memimpikan esok hari bertemu sang murai batu asli tangkapan dari hutan.

Hari ketiga, Jum’at (30/3)
Pagi yang mendung, udara yang sejuk, cuaca diluar terasa dingin, jam menunjukan pukul 05.00 wib. Selesai shalat shubuh tim sejenak menikmati secangkir teh hangat dan cemilan-cemilan yang telah disediakan oleh si pemilik rumah tempat kami menginap. Senda gurau mengawali pagi yang mendung ini, yang sedianya pada hari ketiga ini agenda petualangan kami untuk memasuki kawasan kaki bukit, tempat dimana sang murai batu berkembang biak. Sebelumnya tim inti (pemikat burung) yang memang memiliki tujuan untuk memikat burung murai batu telah berkomunikasi dan koordinasi bahwa mereka berangkat terlebih dahulu pada Rabu, 28 Maret 2012 bertepatan dengan jadwal keberangkatan kami dari Jakarta menuju Medan. Hasil koordinasi antara kami dan tim pemikat ini membuahkan kesepakatan bersama untuk dapat bertemu disalah satu kaki bukit dimana mereka memikat burung murai batu pada hari ketiga ini. Tepat pukul 06.00 WIB kami meluncur dengan mengendarai sepeda motor bergerak menuju daerah sasaran, salah satu bukit yang konon merupakan habitat murai. Perjalanan yang kami tempuh kurang lebih dua jam-an dengan mengendarai sepeda motor, karena rute yang kami tempuh ini hanya bisa dilalui kendaraan roda dua.

Perjalanan menuju daerah sasaran antara ini bagi kami merupakan pengalaman baru sekaligus menegangkan, mengingat jalur jalan yang dilalui harus melalui jalan lintas dalam perkebunan sawit, turunan dan tanjakan yang tajam serta kondisi jalan yang rusak parah. Beberapa jembatan gantung pun tak luput kami jelajahi. Beberapa daerah yang disampingnya terlihat lembah pun kami jajal. Setibanya di daerah sasaran, kami mencari tempat untuk menitipkan sepeda motor,  dan melanjutkan perjalanan menuju kaki bukit dengan berjalan kaki. Bagi kami, perjalanan bersama tim ini merupakan kenikmatan tersendiri dan begitu berkesan. Kami merasa bersyukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kesempatan kepada tim SKL untuk mendapatkan pengalaman baru ini, yang mungkin tidak dapat dirasakan oleh setiap pecinta murai batu. Selangkah demi selangkah semakin jauh kami meninggalkan lokasi tempat dimana kami menyimpan sepeda motor kami.
Jalanan yang terjal, naik turun, licin, melompati bebatuan, kanan kiri lembah adalah pemandangan yang menjadi teman perjalanan kami. Beberapa sungai kami lalui dan itu pun tidak melalui jembatan penyebarangan melainkan langsung masuk ke sungai tersebut. Sungai Landak, salah satu sungai yang kami lewati, memiliki banyak bebatuan dan aliran air sungai yang tidak begitu deras namun bisa menghanyutkan. Adalah hal yang mengasyikkan sekaligus menegangkan, dengan kedalaman sepinggang orang dewasa, kami menyeberangi aliran sungai Landak tersebut, saat berada ditengah-tengah aliran sungai kami melihat dari kejauhan pemandangan yang begitu indah dan menakjubkan jajaran bukit-bukit dan gunung Leuser. Hamparan pepohonan terlihat dari kejauhan sejuk dipandang mata, keterpesonaan kami ini kami wujudkan dengan mengambil gambar melalui kamera digital yang telah kami siapkan. Hati kecil kami berkata; mungkin Tuhan sedang tersenyum saat menciptakan alam pegunungan Leuser ini, begitu indah dan mempesona mata kami. Saat kami menyeberangi sungai Landak ini pun sebagai wujud dari rasa bangga dan bahagia kami, kami sempatkan untuk berfoto dengan berlatarbelakang pegunungan Leuser.
Dipinggiran sungai Landak, nyebrang kearah lokasi perbukitan tempat sang murai batu       
sblm menyeberangi sungai Landak. terlihat perbukitan yg lokasi tujuan perjalanan.
Berlatar Perbukitan yang menjadi kaki Gunung Leu





























Setelah melewati sungai Landak, kami memasuki areal perkebunan masyarakat, kami melihat beberapa warga desa yang memiliki kebun sedang bercocok tanam. Beberapa orang lagi sedang menyirami pohon-pohon karet yang baru saja ditanam, kami pun melihat beberapa rumah-rumah gubuk penunggu kebun yang didalamnya dihuni oleh sebuah keluarga. Ada juga pemandangan yang membuat kami miris dan sedih, ketika kami melihat seorang anak perempuan penunggu gubuk kebun yang kebetulan sedang mencuci piring dipinggiran aliran air pinggir kebun nampak sekali begitu kurus kering, terlihat sangat kekurangan asupan gizi dan nutrisi jauh dari sebuah kelayakan hidup seorang anak.  
Di jaman serba modern seperti sekarang ini, kemajuan pembangunan dan daerah tempat perkebunan sawit yang konon kabarnya sawit ini menjadi komoditas primadona setelah minyak dan gas bumi, namun kenyataannya tidak berpengaruh terhadap kehidupan seorang anak perempuan kecil yang tinggal di sebuah gubuk penunggu kebun. Jaminan kesehatan bagi anak nampak tidak berjalan. Zona daerah perkebunan milik masyarakat pun telah kami lalui hingga sampai daerah zona batas daerah hutan tanah negara. Saat mulai memasuki zona hutan tanah negara ini gerimis mulai turun, membasahi tanah, bebatuan, dan kami pun basah kuyup. Jalanan memasuki kawasan hutan negara ini juga penuh rintangan. Kami harus melalui semak belukar, pohon-pohon yang tinggi, bebatuan yang licin, terdapat beberapa alur (sumber mata air) yang menjadi tempat dimana murai batu mencari air untuk keperluan minum dan mandi.

Alur – Sumber mata air, sbg tempat murai batu mandi dan minum, bebatuan dipinggirannya dijadikan tempat berjemur
Ditengah hutan areal perbukitan menuju lokasi murai batu berada
Nampak dari arah kaki perbukitan hutan yang masih lebat, tempat dimana murai batu berada

Masing-masing lokasi wilayah murai batu di perbukitan ini memiliki penguasa wilayahnya, pandangan ini berada pd wilayah perbukitan disisi yg lain.

 Salah satu metode menentukan apakah di kawasan hutan tersebut terdapat Murai Batu adalah dengan melihat di kawasan tersebut terdapat Alur (sumber mata air) yang pada bagian pinggirannya terdapat bebatuan, dimana Alur ini merupakan tempat mengalirnya aliran parit/anak sungai yang kecil, gambaran kondisi wilayah ini digunakan oleh murai batu sebagai tempat untuk minum dan mandi karena airnya sangat bersih dan jernih. Setelah mandi simurai tersebut berjemur diatas bebatuan, prilaku tersebut sudah merupakan tradisi di habitat alamnya oleh karena itu nama burung ini disebut murai batu. Nangkring diatas bebatuan menunjukan sifatnya yang apik untuk menjaga kebersihan kaki dan anggota tubuh lainnya setelah mandi.

Semak belukar kami tebas dengan parang yang spesial tajam, agar jalanan yang akan kami lalui dapat terlihat, mengingat jalanan yang kami lalui cukup membingungkan sebab bisa membuat kami tersasar dan akan semakin jauh dari daerah sasaran yang telah menjadi target kami. Bebatuan kami jadikan pijakan untuk terus naik ke tempat yang lebih tinggi lagi, dan perlu extra hati-hati karena sangat licin dan membahayakan jika terpeleset membuat kami jatuh kebawah dan terguling dapat membahayakan nyawa kami. Ditengah-tengah perjalanan diatas kaki bukit ini kami sempatkan mengambil gambar sebagai oleh-oleh dan kenang-kenangan.
Gerimis masih juga turun dan sepanjang perjalanan menuju daerah sasaran mengiringi kami, basah kuyup, menggigil kedinginan mulai terasa oleh semua anggota tim, beberapa anggota tim kakinya diserang pacet (sejenis lintah hutan) sehingga banyak mengeluarkan darah, mengingat kondisi cuaca dan kondisi fisik beberapa anggota tim ini, kami putuskan untuk berteduh di sebuah gubug yang nampaknya sudah ditinggalkan penghuninya persis ditengah hutan kaki bukit. Ditengah-tengah suasana yang dingin dan diserang pacet ini, kami berusaha menghibur diri dengan gurauan dan canda tawa karena hanya dengan inilah kami bisa saling memberikan support untuk tetap terus berjalan mencapai lokasi yang telah menjadi sasaran.
Akhirnya tepat pukul 11.00 WIB kami tiba dilokasi yang telah kami jadikan sasaran di salah satu kaki bukit gunung Leuseur. Ditempat inilah kami pun bertemu dengan tim pemikat yang baru turun dari daerah puncak bukit, mereka baru turun dari memikat murai batu yang telah bergeser ke arah daerah atas mendekati puncak bukit. Pertemuan dengan tim pemikat ini kami optimalkan untuk mewawancarai dengan obrolan santai sambil ditemani secangkir kopi hangat, sambil membuat api unggun buat menghangatkan badan.

Bersama para pemikat yg baru turun gunung memikat sang murai batu ditengah areal perkebunan sawit
Bersama para pemikat yang baru turun gunung memikat sang murai batu 
Beberapa pertanyaan kami ajukan antara lain berkaitan dengan seluk beluk tentang bagaimana cara memikat yang mereka lakukan, menyangkut lingkungan kondisi geografis daerah pegunungan dan sekitarnya tempat berkembang hidupnya murai batu, serta mengenal karakter murai batu berdasarkan pengalaman para pemikat selama memikat murai batu.


Berikut ilustrasi posisi pemikat saat memikat dua ekor murai batu di salah satu bukit, informasi ini berdasarkan keterangan dari tukang pikat;

1. Posisi tukang pikat yang Salah;
Posisi tukang pikat berada ditengah-tengah dua murai batu yang berbeda lokasi, ini menunjukan posisi yang salah dari tukang pikat, apabila si tukang pikat bersiul memanggil murai batu maka kedua murai batu tersebut yang berbeda lokasi akan merespon suara panggilan itu dan datang pada waktu yang bersamaan yang pada akhirnya kedua murai itu akan saling berhadapan bertarung satu sama lain dengan menunjukan kebolehan masing-masing. Dalam keadaan begini si pemikat akan diabaikan saja oleh kedua murai yang sedang asyik-asiknya berlaga dan hanya bisa menggigit jari saja. Jadi jangan berharap bisa membawa pulang seekor murai pun juga.

2. Posisi tukang pikat yang benar
Posisi tukang pikat berada di satu lokasi terlebih dahulu dengan memfokuskan pada murai batu yang berada di lokasi ini, mengingat masing-masing lokasi memiliki penguasa wilayah, dan akan terganggu jika wilayahnya itu didatangi murai batu yang lain, maka si pemikat harus memfokluskan terlebih dahulu pada satu lokasi. si pemikat akan berusaha menangkap murai batu di lokasi yang difokuskan tadi dahulu tanpa ada gangguan dari murai batu yang berbeda lokasi namun masih dekat dengan lokasi yang dijadikan sasaran target si pemikat karena sangat kecil kemungkinannya si murai batu yang berada diluar lokasi target ini berani masuk wilayah murai batu yang berada di lokasi sasaran target si pemikat. Setelah murai batu yang berada dilokasi sasaran target tertangkap baru dilanjutkan dengan menangkap murai batu dilokasi yang berdekatan dengan lokasi sasaran target tadi.
Ada juga murai batu yang amat sangat susah dipikat atau bahkan tidak bisa dipikat lagi karena sudah terlalu pintar dan hafal dengan semua akal-akalan manusia, disana dinamakan BICOK, biasanya usianya juga sudah sangat-sangat tua sekali. Jangan berharap orang bisa menangkap murai BICOK ini. Murai batu ini adalah salah satu burung yang mempunyai tingkat kecerdasan yang amat luar biasa, terbukti apabila kita mau menangkap anakannya kedua indukannya, baik Jantan maupun Betinanya, bisa mengecohkan si tukang pikat. Dimusim anakan apabila si tukang pikat mulai bersiul memanggil murai batu maka tugas indukan betina bergegas untuk memberi makan anakan-anakannya supaya SELALU kenyang agar si anakan murai batu tersebut TIDAK mengeluarkan suara khas anakan. Indukan jantan akan terbang berlawanan arah dengan posisi sarangnya supaya si tukang pikat ini terkecoh akan mengejar si murai jantan, yang otomatis si tukang pikat ini pergi menjauh dari sarang simurai batu tersebut. Tanda-tanda si murai lagi punya anakan adalah apabila si tukang pikat bersiul memanggil si murai, maka si murai itu akan meresponnya dengan suara yang SLOW atau lebih pelan dari biasanya, atau hanya mengeluarkan suara ngeban-ngeban saja. Lain halnya jika si murai sedang tidak mempuyai anakan, apabila kita panggil maka akan direspon dengan suara-suara khas tembakan-tembakan alamnya. Sewaktu mempunyai anakan apabila kita sudah berjarak sekitar 5 meteran maka si indukan jantannya akan ribut dengan mengeluarkan suara-suara crecetan untuk mempertahankan dan membela keluarganya. Kalau kita bergerak lebih mendekati sarangnya maka si murai jantannya hanya akan mengeluarkan kretekannya sambil terbang ber-putar-putar diatas kepala kita. Kadang kalau anakannya sudah bisa terbang dan terpancing keluar dari tempat persembunyiannya oleh suara siulan si pemikat menuju perangkap burung yang sudah ditebari jangkrik dan lain-lainnya, maka si indukan jantannya akan mengusir anakan-anakannya yang masih polos itu untuk segera menjauhi perangkap si tukang pikat.

Setelah selesai ngobrol santai dengan tim pemikat, tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 14.00 WIB. Cuaca masih mendung dan tetap gerimis. Mengingat waktu yang sudah menjelang sore dan kondisi jalanan yang semakin licin maka kami putuskan untuk segera turun ke bawah menuju daerah tempat dimana kami menyimpan sepeda motor. Perjalanan pulang dan turun kebawah ini lebih berat dan menegangkan karena kami harus melalui turunan tajam dan berkelok serta jalanan yang licin. Beberapa anggota tim kami terpeleset, namun tidak sampai terjadi hal yang tidak diinginkan. Dahan-dahan pepohonan kami jadikan pegangan untuk secara perlahan turun kebawah, dan akhirnya kami dan tim pemikat sampai-lah dipinggiran sungai Bohorok yang terkenal dan legendaris untuk pecinta murai batu. Disini kebetulan kami menemukan bagian sungai yang tidak terlalu dalam, tidak terlalu deras aliran airnya, namun jernih dengan dilatarbelakangi pemandangan alam pegunungan Leuser yang indah, karena kejernihan airnya ini-lah yang membuat kami ingin merasakannya. Kami pun mandi di sungai yang jernih ini. Lumayan segar buat badan kami yang sudah sangat letih dan lelah, serta lengket karena berkeringat. Sambil mengekspresikan kegembiraan dan kesegaran badan ini, kami sempatkan untuk berfoto-foto.
Numpang mandi di sungai Bohorok airnya yang jernih membuat badan jadi segar kembali
Selesai mandi di sungai Bohorok ini, kami lanjutkan perjalanan menyeberanginya sampai pada tempat dimana kami menyimpan sepeda motor kami, jadi rute perjalanan pulang kami berbeda dengan rute keberangkatannya. Tak berapa lama, kami pun bergegas pergi meninggalkan lokasi menuju base camp tempat kami menginap. Tepat pukul 20.30 WIB, kami sampai di base camp. Selesai bersih-bersih badan, secangkir kopi dan teh hangat telah tersedia. Kami ngobrol santai sambil sedikit mengulas pengalaman dan hasil obrolan dengan para pemikat saat di kaki bukit tadi.
Tak terasa waktu jalan begitu cepat, sudah menunjukan pukul 24.00 WIB, mata teras berat, badan terasa letih, tak bisa lagi diajak bermain, dan akhirnya tumbanglah ke pulau kapuk, terlelap, mimpi terbang bersama sang murai batu.
 
Hari keempat, Sabtu (31/3)
Tak terasa sudah empat hari kami berada di Bohorok ini. Sinar mentari pagi yang cerah telah menyapa kami saat kami terbangun dari tidur lelap. Secangkir teh manis hangat, lengkap dengan menu cemilan tradisional menemani kami. Sejenak kami berjemur diri menghangatkan badan dan tulang-tulang kami yang sedikit ngilu karena agenda kemarin yang cukup menguras energi dan tenaga kami.
Mengingat jam penerbangan kepulangan kami ke Jakarta masih panjang, maka kami di hari terakhir ini menyempatkan untuk berwisata ke tempat wisata sungai yang dipinggirannya terdapat pepohonan yang sebagian masuk dalam wilayah kawasan Taman Nasional Gunung Leuser yang terkenal dengan program konservasi Orang Utan itu. Tempat wisata terkenal ini orang menyebutnya dengan kawasan Bukit Lawang yang juga sebagian wilayah ini masuk ke dalam kawasan zona Taman Nasional Gunung Leuser, dan di Bukit Lawang ini juga dahulunya (berdasarkan informasi dari warga setempat) saat masih belum seramai seperti sekarang ini, dimana sekarang dijadikan salah satu objek wisata merupakan salah satu basis wilayah kehidupan murai batu.
Namun keadaan dahulu sudah tidak mungkin lagi akan kita jumpai, karena saat ini selain lokasi bukit Lawang ini dijadikan objek wisata juga pada beberapa bagiannya dijadikan areal perkebunan sawit dan perkebunan karet. Sebagian lagi sudah dijadikan pemukiman penduduk dan pondokan-pondokan untuk tempat rehat dan menginap wisatawan-wisatawan baik domestik maupun asing.
Pemandangan dr atas jembatan gantung Bukit Lawang. terlihat rumah pondokan dipinggiran sungai                  

 

Pintu masuk ekowisata Bukit Lawang

Pintu masuk ekowisata Bukit Lawang

Jembatan gantung Bukit Lawang

Kami sempatkan berfoto dijembatan gantung dimana dibawahnya terdapat aliran sungai yang indah yang kalau kita telusuri aliran sungai tersebut akan melintasi pintu masuk kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Dari atas jembatan gantung tempat kami berfoto terlihat sangat dekat pepohonan nan rimbun, lebat yang merupakan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser dan rumah-rumah pondokan wisata di sepanjang pinggiran aliran sungai. Kami sempatkan membeli buah tangan berupa kaos bergambar hewan yang menjadi program konservasi khas kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, orang utan, yang digambar dengan seni lukis.

In action diatas jembatan gantung Bukit Lawang

In action diatas jembatan gantung Bukit Lawang

Pemandangan dari atas jembatan gantung Bukit Lawang

Pemandangan dari atas jembatan gantung Bukit Lawang, Nampak rumah-rumah pondokan penginapan di pinggiran sungai 
Kami berjalan kaki menyusuri pinggiran sungai juga rumah-rumah pondokan penginapan wisatawan menuju pintu masuk kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Sesampainya di ujung tikungan aliran sungai sudah terlihat diseberang sungai dari tempat kami berdiri pintu masuk kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, dan untuk masuk ke arah pintu kawasan Taman Nasional Gunung Leuser ini kami harus menyeberangi sungai dengan menggunakan perahu mengingat tidak adanya jembatan penyeberangan. Lumayan mengasikkan dan menegangkan menyeberangi sungai dengan menaiki perahu ini, karena arusnya sedikit deras. Tepat pukul 13.30 wib kami sampai di depan pintu masuk kawasan Taman Nasional Gunung Leuser.

Berjalan menyusuri rumah-rumah pondokan penginapan & aliran sungai menuju Pintu masuk Taman Nasional Gunung Leuser
Tampak disebarang sungai Gapura pintu masuk Taman Nasional Gunung Leuser

Menumpang perahu menyeberangi sungai menuju gapura Pintu masuk Taman Nasional Gunung Leuser

Menunggu perahu buat menyeberangi sungai menuju gapura Pintu masuk Taman Nasional Gunung Leuser

Kami sempatkan berfoto didepan pintu masuk kawasan Taman Nasional Gunung Leuser sebagai kenang-kenangan yang entah kapan lagi kami bisa berkunjungi kembali ke wilayah ini. Pemandangan yang indah dimana dikeliling pohon-pohon besar khas hutan, taman yang tertata rapi, bersih adalah hal yang menarik untuk kami ambil gambarnya. Beberapa jenis pohon yang terdapat dihalaman setelah pintu masuk kawasan Taman Nasional Gunung Leuser telah diberi nama sebagai pengetahuan dan informasi bagi para pengunjung. Namun kami tidak sempat melihat orang utan karena waktunya terlalu mepet dengan jadwal penerbangan kami. Jadwal pemberian makan orang utan dari keterangan petugasnya adalah jam 15.00 WIB, sementara jadwal penerbangan kami jam 20.10 WIB. Waktu tempuh perjalanan pulang dari kawasan ini ke tempat base camp kami menginap, dan perjalanan dari Bohorok menuju bandara sangat-lah mepet. Akhirnya kami putuskan untuk mengakhiri kunjungan wisata kami di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser ini.

In action di depan gapura pintu masuk Taman Nasional Gunung Leuser

In action di depan gapura pintu masuk Taman Nasional Gunung Leuser

Taman halaman depan kantor petugas penjaga Taman Nasional Gunung Leuser

Sesaat sebelum pulang kembali ke base camp 
Ada adagium yang mengatakan,“Belajarlah dari pengalaman karena pengalaman adalah guru yang paling baik, dari pengalamanlah kita dapatkan ilmu dan pengetahuan yang tak ternilai.”  Adagium inilah kiranya yang kami rasakan selama empat hari berpetualang mengunjungi wilayah “Kehidupan” sang murai batu di Bohorok yang sudah terkenal dan legendaris, khususnya dikalangan pecinta murai batu di Nusantara tercinta ini. Semoga pengalaman kami yang terangkum dalam cerita yang panjang ini bermanfaat.


11 komentar:

  1. Mantabbb pak haji, pengalaman yg sangat sngat mengesankan dk melelahkan pasti nya. . .Sukses buat Pak haji,maju trus SKL BF. .Deni Plg

    BalasHapus
  2. Manteb Om....
    Berburu memang perlu langsung ke tempatnya, jadi tidak nanggung.
    Pepatah mengatakan, "berburu ke padang datar, mendapat rusa belang kaki; berguru kepalang ajar bagai bunga kembang tak jadi".
    Salam sukses

    BalasHapus
    Balasan
    1. @Om Kicau, mtrnwn sanget...Oh iya mksh jg atas kunjungan keSKL BFnya kala itu smoga dilain wkt tdk bosan2 unt mampir lg. Sy baru denger pepatahnya itu, jd lumayan unt menambah perbendaharaan pepatahku.

      Hapus
  3. Murai hasil pikat nya di bawa ke SKL ga pak haji buat kenang2an?deni

    BalasHapus
    Balasan
    1. @Deni, iya Mas Deni, sdh jauh2 meninggalkan tanah Jawa dan kelg masak iya pulangnya cmn bawa kue Ambon Bika saja...tp cmn beberapa ekor saja krn memang burung murainya sdh susah didpt.

      Hapus
  4. Hahaha,bisa aja pak haji, . . Kapan ya bisa main ke SKL,kpingin banget. . .

    BalasHapus
  5. Teryata murai bahorok yang legenda masih ada.............selamat bos...

    BalasHapus
  6. Kalau ada versi video pasti akan menjadi sebuah film dokumenter yang bagus khususnya bagi pecinta Murai Batu, Sukses Terus SKL BF.

    BalasHapus
    Balasan
    1. @tony_y, jangan kuatir nanti secepatnya akan kami tampilkan versi videonya meskipun apa adanya, maklum masih amatiran untuk pengambilan gambarnya karena sempat ter-jatuh2 jg jadi gambarnya molak malik. He...he.

      Hapus